Kamis, 26 Januari 2017

Hentikan Kekerasan di Dunia Pendidikan

Oleh: Wahyu MS
Guru Besar Ilmu Sosiologi di Universitas
Lambung Mangkurat (ULM) Banjarmasin


uksw.edu - Bentuk kekerasan dalam dunia pendidikan dengan apa pun namanya sangat tidak dibenarkan. Pendidikan tidak mengenal apa yang disebut anarkisme baik yang berujung kepada cacat fisik maupun psikologis, apalagi ini kemudian berakhir dengan kematian.

Pendidikan bertujuan untuk memanusiakan manusia sehingga konteks pendidikan untuk memanusiakan manusia perlu dijalankan sebagai upaya dan agenda pembangunan sumber daya manusia yang unggul, beradab, dan bermoral.

Tragedi meninggalnya seorang mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP) yang bernama Amirullah Adityas Putra (18), mahasiswa tingkat satu angkatan 2016 akibat dihajar empat seniornya. Aksi sadis tersebut berlangsung dalam ruangan asrama mahasiswa STIP Selasa (10/1/17) sekitar pukul 22.30 WIB.

Peristiwa tersebut tentu sangat layak menjadi fakta nyata bahwa pendidikan masih selalu lekat dengan kekerasan. Pendidikan secara terus menerus selalu dijalinkelindankan dengan tindakan-tindakan yang berbuah pengrusakan dan kerusakan.

Apabila preseden buruk tersebut kemudian dicoba-ingatkan pada April 2015, di mana tiga mahasiswa senior memukul junior, Daniel Roberto Tampubolon yang kemudian berakhir dengan kematian, ini semakin menegaskan bahwa potret pendidikan sudah semakin ironis dan kronis.

Pada tahun sebelumnya, tepat bulan April 2014, ada tiga mahasiswa senior yang memukul dan menewaskan adik kelas, Dimas Dikita Handoko.

Tentu, realitas mengenai kejadian tersebut memberikan pesan bagi semua bahwa ketika pendidikan dikuasai oleh kepentingan sektoral, maka sampai kapan pun, tujuan pendidikan tidak akan pernah bisa dicapai sama sekali.

Antonio Gramsci pernah mengatakan bahwa penyelenggaraan pendidikan yang hegemonik, di mana posisi siswa senior sangat kuat pengaruhnya terhadap siswa senior. Maka yang terjadi kemudian adalah posisi siswa senior terhadap siswa junior lebih pada kepentingan ego sektoral, berusaha menjadi pribadi-pribadi yang kasar dan perusuh.

Dampak psikologis bagi siswa junior adalah mereka merasa berada di ruang penjara yang kapan pun saja bisa (ter)disakiti, baik secara psikis maupun fisik. R Tagore mengatakan,sekolah kemudian ibarat sebuah penjara.

Siswa junior di sekolah kemudian selalu merasa ketakutan ketika bertemu dengan siswa senior. Kendatipun di sekolah sudah ada guru atau lain sejenisnya, sifatnya hanya sesaat menjadi pendamai dalam keadaan yang genting.

Pendidikan untuk Karakter
Pendidikan ditujukan untuk membangun karakter diri dan praksis pendidikan adalah untuk mampu memberikan nilai pembangunan bagi kemanusiaan. Mereka yang belajar di sekolah kemudian diarahkan untuk mampu menjadi pribadi-pribadi yang tangguh dan kokoh sehingga mereka kemudian memiliki kompetensi diri yang kuat.

Kompetensi di sini terkait dengan kemampuannya dalam mengelola jiwa sehingga tidak mudah terprovokasi. Kompetensi kepribadian harus dikuatkan agar melahirkan pribadi-pribadi yang mampu menerima fakta realitas sebagai sesuatu hal yang niscaya.

Kompetensi kepribadian harus mencerminkan perilaku dan tindakan para pribadi di dalam sekolah yang memandang hal apa pun sebagai sesuatu yang harus dipahami secara pikiran terbuka, jernih, dan bernas. Oleh karena itu, sekolah dan pembangunan karakter adalah dua hal yang saling kait mengkait untuk bisa bergerak secara organik.

Pendidikan harus secara konsisten diarahkan untuk berbicara dan berjuang untuk pembangunan manusia dan kemanusiaan seutuhnya. Konteks ini ketika dihubungkan dengan insiden kekerasan dalam pendidikan tentu memberikan ilustrasi yang sangat kuat agar sekolah jangan dijadikan tempat untuk menyemai benih-benih kekerasan.

Sekolah bukan menjadi ruang agar tindakan kekerasan antara senior dan junior terus dipelihara. Sekolah dalam konteks semantiknya adalah menjadi ruang kemanusiaan untuk memanusiakan manusia, mengangkat derajat manusia ke tingkat tertinggi dalam peradaban, dan melembutkan jiwa manusia peserta didik untuk tidak memandang yang lain sebagai musuh atau lawan yang harus dihabisi, dipukuli, dan dihancurkan.

Meluruskan Jalan Pendidikan
Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran sebagai salah satu sekolah yang sudah mengalami degradasi nama di hadapan seluruh rakyat di republik ini perlu menjadi refleksi bersama secara kritis bahwa penyelenggaraan pendidikan dengan status apa pun harus diletakkan secara utuh untuk mampu mengembalikan khittah pendidikan sebagai jalan pembangun kebudayaan dan peradaban.

Kebudayaan di sini dimaknai sebagai lahirnya manusia-manusia yang jernih dalam berpikir, santun dalam bersikap dan bertindak, dan begitu seterusnya. Silakan saja untuk tetap menyesuaikan dengan ciri khas pendidikan dalam satu lembaga pendidikan tertentu, sebut saja sekolah pelayaran melahirkan para alumni yang tangguh di laut lepas, namun ini bukan berarti kemudian tangguh dimaknai bahwa ketika belajar di bangku kuliah, kekerasan fisik dan psikis menjadi sebuah kurikulum tersembunyi untuk dilaksanakan dengan sedemikian rupa.

Selain itu, pendidikan untuk peradaban kemudian juga perlu ditekankan peran strategisnya dalam konteks penyelenggaraan pendidikan yang melahirkan pribadi-pribadi cerdas secara intelektual. Namun yang kemudian perlu dicatat secara bersama dengan mengutip pendapat Driyarkara, pendidikan dengan tujuan universalnya adalah memanusiakan manusia muda, yang disebut homonisasi dan humanisasi.

Dengan semangat homonisasi dan humanisasi, manusia selanjutnya dipimpin dengan cara sedemikian rupa agar berdiri, bergerak, bersikap, dan bertindak sebagai pribadi manusia yang utuh dan memiliki kebudayaan tingkat tinggi.

Sumber: http://banjarmasin.tribunnews.com/2017/01/17/setop-kekerasan-dalam-pendidikan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar